Analisis Novel
Anak
Perawan Disarang Penyamun
Disusun guna memenuhi
tugas Apresiasi Prosa
Dosen Pengampu : Wati Istanti,
S.Pd., M.Pd.
OLEH :
Nurul Aziz (2101412133)
JURUSAN BAHASA DAN
SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2013
Sinopsis
ANAK
PERAWAN DISARANG PENYAMUN
(S.
Takdir Alisjahbana)
Pada suatu hari kawanan penyamun menyerang sebuah
dusun yang sangat ternama kekayaannya, dusun itu terletak jauh disebelah
selatan tanah Pasemahan.para warga melarikan diri agar tidak dibunuhnya,
rumah-rumah dibakarnya. Namun ada seorang anak yang tertinggal dan ia sangatlah
ketakutan akhirnya anak itu ditangkap dan dibawa oleh kawanan penyamun itu
karena mereka tau ia memiliki potensi sebagai penyamun. Dan akhirnya karena ia
berada di lingkungan para penyamun ia pun menjadi penyamun juga. Harta yang
mereka peroleh dari hasil menyamun sangtlah banyak, namun ketika hendak membagi
perbendaharaan itu trjadilah perselisihan yang amat hebat dari perdelisihan itu
menglah pihak si Anak yang dulu di bawa oleh penyamun dan penyamun yang
membawanya telah dianggap menjadi ayahnya sendiri. Ketika itu ia dan ayah
angkaynya mengembara ke Palembang, lama kelamaan harta mereka pun habis, ketika
itu seakan hadir kembali jiwa penyamun dalam diri mereka, akhirnya mreka berdua
meninggalkan Palembang dan pulang kembali ke Hutan. Karena tidk ada yang bisa
mereka kerjakan, Akhirnya mereka mencari ilmu gaii. Di Dusun Endikat mereka
bertemu dengan seorang yang terkenal sihirnya dan mereka berdua diberi nasihat
untuk pergi bertarak atau bertapa ke gunung Dempo.disana mereka berdua berpisah
kerna harus mencari tempat untuk bertarak sendiri. Pada saart ia bertarak ia
diganggu oleh jin dan setan namun diakhir masanya bertarak ia bertemu sorang
peri yang memberinya banyak kesaktian, namun ayah angkatnya tak mendapat hasil
apapun dari bertarak. Dari gunung itu mereka pergi ke negri Bandar disanalah
mereka bertemu dengan temanya berlima dan ternyata temanya pun telah habis
uangnya dan mereka berniat menyamun kembali. Si anak yang dulu dibawa oleh
penyamun adalah Medasing yang kini menjadi kepala pimpinan penyamun karena
kesaktianya dan juga karena ayah angkat dan seorang temanya mati saat
perjuangan di kaki pegunungan.
Pada suatu ketika mereka mendengar akan ada Seorang
saudagar kaya raya yang bernama Haji Sahak hendak pergi berdagang ke Palembang.
Dari Pagar Alam menuju Palembang, Haji Sahak membawa berpuluh-puluh kerbau dan
beberapa macam barang dagangan lainnya. Istri dan anak perawannya juga ikut
bersamanya. Mereka pun berniat menyamun saudagar kaya tersebut. Di tengah
perjalanannya, rombongan Haji Sahak dicegat segerombolan penyamun yang dipimpin
oleh Medasing. Akhirnya mereka menyamun harta Haji sahak. Haji Sahak, istrinya,
Nyi Hajjah Andun, serta rombongan Haji Sahak lainnya dibunuh oleh Mereka. Namun Sayu anak perawan Haji
Sahak, tidak dibunuh. Dia dibawa ke sarang penyamun pimpinan Medasing. Pada
suatu hari Samad anak buah Medasing yang bertugas sebagai pengintai orang-orang
yang akan disamun datang ke sarang penyamun dan meminta bagian hasil perampokan
pada Medasing. Disana ia melihat Sayu
yang sangat cantik dan ia pun jatuh hati pada Sayu. Ia berniat membawa Sayu lari dari sarang penyamun
tersebut. Ia pun memberitahukan niatnya
pada Sayu dan ia berjanji akan mengantarkan Sayu kepada orang tuanya. Sayu pun
percaya pada Samad. Ia memutuskan untuk
lari bersamanya. Namun sebelum niatnya
terlaksana, ia mengetahui bahwa Samad punya niat buruk padanya. Ia mulai ragu
dan tidak percaya pada Samad. Hingga Samad memiliki ide jahat terhadap
penyamun-penyamun itu agar dapat membawa lari Sayu. Samad member informasi
terhadap penyamun bahwa akan ada gerobak yang membawa makanan dan harta dari
Lahat dan menuju ke Pagar Alam yang dapat disamun, Samad berniat mencelkakan
mereka karena mereka di kawal oleh serdadu yang bersenjatakan lengkap dengan
tujuan agar mereka gagal dan tewas dihajar oleh para serdadu tersebut. Akhirnya
mereka mulai beraksi Medasing keastas bersama Tusin dan Sanip dengan Samad
kebawah. Pada saaat itu sukseslah niat Samad mereka gagal dan salah satu dari
mereka yaitu Tusin meninggal. Namun karena Sayu telah mengetahui bahwa Samad
punya niat jahat Sayu pun menolak ajakan Samad.
Suatu ketika karena mereka sudah tidak punya apa-apa
lagi Medasing dan Sanip pergi berburu kijang dihutan. Namun naas pada saat itu
Sanip yang membawa tombak terjatuh hingga tombaknya menembus badanya hingga
menyebabkan nyawanya melayang. Medasing pun juga ikut terluka namun tidak
terlalu parah hanya tanganya yang patah saja. Namun lama kelamaan lukanya
menjadi parah sehingga membuat Sayu bingung karena persediaan makanan menipis.
Hal itu membuat mereka berdua menjadi akrab karena Sayu memberabikan dirinya
untuk merawat orang yang sangat ia takuti. Medasing pun menceritakan tentang
hidupnya kepada Sayu bahwa sebenarnya Ia adalah anak dari keluarga baik-baik.
Karena persediaan makanan telah menipis maka ia mencoba mengajak Medasing untuk
keluar dari persembunyiannya. dan akhirnya mereka keluar dari hutan menuju
Pagar Alam. Sesampainya di Pagar Alam, keduanya langsung menuju ke rumah Sayu.
Tapi sampai di rumahnya, Sayu sangat terkejut, sebab rumah itu sekarang bukan
milik mereka lagi, tapi sudah menjadi milik orang lain. Menurut penghuni baru
itu, ibunya sekarang tinggal di pinggiran kampung. Mendengar itu, kedua orang
ini langsung pergi menuju ke tempat Nyai Haji Andun. Ternyata Nyai Haji Andun
tidak meninggal sewaktu diserang Medasing dan kawan perampoknya. Ia hanya
terluka parah dan berhasil sembuh. Sekarang dia tinggal sendirian di ujung
kampong dengan keadaan sakit keras. Disaat ibunya sedang kritis, Medasing dan
Sayu muncul dihadapannya. Betapa bahagianya Nyai Haji Andun bertemu dengan anak
perawan yang sangat dirindukannya itu. Dan rupanya itulah pertemuan terakhir
mereka. Menyaksikan kenyataan itu hati Sayu hancur, Medasing sendiri juga
hancur hatinya. Kenyataan telah menyadarkan dirinya betapa kejamnya dia selama
ini. Ia begitu menyesal. Ia sangat malu dan berdosa kepada Sayu dan keluarganya
sejak itu Medasing berubah total hidupnya. Ia menjadi seorang kaya yang sangat
penyayang pada siapa saja. Lima belas tahun kemudian Medasing berangkat ke
tanah suci. Kembalinya dari tanah suci, ramai orang-orang kampong menyambut
kedatangannya dan Medasing mengubah namanya menjadi Haji Karim. Suatu malam,
ketika Haji Karim sedang duduk termenung sambil mengenang masa lalunya yang
kelam, tiba-tiba pintu rumahnya ada yang mengetuk. Ternyata orang yang mengetuk
pintu itu adalah Samad. Haji Karim masih kenal dengan Samad sebab Samad adalah
anak buahnya sendiri yang selalau ia beri tugas sebagai pengintai para saudagar
yang sedang lewat sebelum dirampok. Haji karim yang tidak lain adalah Medasing
itu, mengajak Samad agar bersedia hidup bersamanya. Waktu itu Samad memang
tinggal di rumah Haji Karim dan istrinya yaitu Sayu. Namun paginya secara
diam-diam Samad meninggalkan rumah Haji Karim. Dia pergi entah kemana,
sementara Haji Karim dan keluarganya hidup tenteram dan damai di kampung.
Analisis
Novel
ANAK
PERAWAN DISARANG PENYAMUN
(S.
Takdir Alisjahbana)
1.
Unsur Instrinsik
A. Fakta Cerita :
·
Alur
Novel Anak Perawan Disarang Penyamun menggunakan
alur maju. Karena dalam novel ini mengisahkan tenteng perjalanan hidup seorang
anak yang dibawa oleh kawanan penyamun hingga ia dewasa dan ia menjadi pemimpin
kawanan penyamun dan hingga ia tobat serta menjadi seorang hartawan dan sangat
penyayang terhadap sesama.
Bukti :
Dengan segera ia ditangkap oleh
salah seorang dari pada penyamun itu dan melihat matanya yang kemerah-merahan
penuh kebuasan dan badanya yang sigap, kukuh dan kuat ia pun diamlah, tak
berani membuka mulut karena takutnya tak terkata-kata. (APDP:4)
Sejak ayah angkat dan seorang teman
yana lain mati, da dalam perjuangan di kaki pegunungan, medasing menjadi kepala
perampok berlima itu dan menilik pada ilmu yang diperolehnya, seperti yang
diceritakannya kepada teman-temannya,
dan kekukuhan badanya, telah patutlah ia menjadi kepala jabal-jabalan
itu. (APDP:8)
Pada pertukaran malam manjadi siang,
gelap gulita didesak oleh terang-cuaca itu, bangkit di dalam hatinya keinsafan
akan kewajiban yang terserah kepadanya. (APDP:113)
·
Tokoh/penokohan
1. Medasing
Dalam novel ini,
Medasing digambarkan sebagai seorang kepala pimpinan penyamun yang gagah
perkasa, kejam dan ganas serta pikiranya tajam, pandai berjuang dan berani.
Bukti :
Pekerjaan
penyamun yang mula-mula amat ngeri pada matanya, kesudahanya menjadi biasa dan
matilah perlahan-lahan hasrat di dalam hatinya untuk meninggalkan penghidupan
yang tiada halal itu. Lambat laun ia pun menjadi kejam dan ganass, seperti
sekalian penunggu hutan yang dahsyat-dahsyat itu.
Ketika itu ia makin lama makin dihormati kawan-kawanya,
karena badanya teguh, pikiranya tajam dan ia pandai berjuang dan berani,
seakan-akan badan dan nyawanya tiada berharga sedikit juapun baginya. (APDP:5)
2. Sohan, Amat, Sanip, dan Tusin.
Dalam novel ini,
Sohan, Amat, Sanip, dan Tusin adalah tokoh pembantu yang menjadi bawahan dari
Medasing. Mereka sangat patuh kepada Medasing dan tak berani menentang medasing
sedikitpun.
Bukti :
Lelaki yang memegang tombak itu muda dan
sigap, turun tiada membantah sedikit juapun, dan sebenarnyalah dalam pergaulan
penyamun-penyamun itu tak pernah timbul perbatahan. Apa yang dikatakan oleh
kepalanya, diturut seperti sesuatu yang harus, yang tiada mungkin
dielakkan. (APDP:3)
3.
Sayu
Dalam novel ini, Sayu adalah seorang
gadis yang berbudi luhur, sabar, sopan, taat agama, dan baik hati.
Bukti:
Tetapi
akhirnya insaflah ia, bahwa ia harus berusaha selekas-lekasnya menolong
laki-laki itu. Sebagai kilat turunlah ia kebawah. Dalam sekejap ia telah
berdiri disamping laki-laki yang terlentang itu, tak tahu apa yang akan
dikerjakannya . tetapi seakan-akan saat itu masuk kehatinya suatu ilham, dengan
cepat dicobanya mengangkat badan yang tiada bergerak-gerak dan licin oleh
keringat itu. Tetapi bagaimana sekalipun ia berusaha, perbuatanya itu tak
berhasil, sebab tenaganya tak cukup mengangkat badan yang jauh lebih besar dan
berat dari badannya sendiri. (APDP:95)
4.
Samad
Dalam novel ini, Samad digabarkan sebagai sosk
laki-laki yang hatinya busuk, pengkhianat, dan pembohong.
Bukti :
Samad berniat mencelakakan para penyamun
dengan memberitakan mangsa yang akan dirampok namun mangsanya dikawal oleh para
serdadu yang bersenjatakan lengkap.
Pada suaatu
hari ia pergi kepulau lahat. Disana didengarnya berita, bahwa dua hari lagi
akan bertolak beberapa buah gerobak ke pagar Alam
membawa makanan, alat sejata dan keperluan yang lain. Gerobak itu akan
diiringkan oleh sepasukan serdadu, sebab sekalian yang dibawanya ialah untuk
keperluan militer di daerah pasemahan.
Mendengar
kabar itu terpikir sekali kepadanya sebuah akal yang pasti segera akan
menyampaikan cita-cita yang telah lama diidamkanya itu. Setelah ditimbang
masak-masak pergilah ia keesokan harinya kerimba tempat pondok itu. (APDP:74)
5.
Haji Sahak
dan Nyai hajjah Andun
Dalam novel ini, Haji Sahak dan Nyai hajjah Andun
digambarkan sebagai sosok suami istri yang kaya sebelum dirampok oleh para
penyamun, namun setelah dirampok Nyi hajjah Andun menjadi sosok yang putus asa.
Bukti :
Pada
saat itu Haji sahak hendak pergi menjual berpuluh-puluh kerbau. Dia datemani
oleh anak dan isterinya, namun naas ditengah jalan mereka dirampok oleh kawanan
penyamun dan Haji Sahakpun dibunuhnya.
Ketika
mereka disamun orang di lembah Lematang. Hilang sekalian uan bahkan barang
berharga yang merekayang mereka bawa dari rumah dan dibeli di Palembang pun
jatuh ketangan kawan penyamun itu. (APDP : 50)
“kemanakah
aku akan pergi? Kakak katakanlah kepadaku! Apakah gunanya aku hidup lagi?”
(APDP : 56)
6. Bedul dan istrinya
Dalam novel ini,
Bedul dan istrinya digambarkan sebagai sepasang suami isteri yang hidup miskin
dan bergantung pada keluarga Haji Sahak namun mereka memiliki hati yang mulia.
Bukti :
Isteri Bedul diam pula sejurus.
Hampir ia menjawab mengajak iparnya itu tinggal bersama-sama dengan dia, tetapi
segera timbul pikirnya yang mengatakan, bahwa tak patut ia mengucap yang
demikian. Masaknya Nyi Haji Andun yang terhitung orang berada itu akan mungkin
hidup pada mereka. Bukankah mereka suami isteri senanyiasa bergantung
kepadanya, hidup atas kasihanya dengan suaminya? Mungkinkah ia sekatang akan
bergantung pada mereka? (APDP : 57)
7. Sima
Dalam novel ini
Sima digambarkan sebagai seorang gadis yitu anak angkat dari Haji Sahak dan ia
memiliki jiwa yang pengasih dan penyayang terbukti karena ia lah yang
senantiasa merawat Nyi Hajjah Andun
Bukti :
Dari dalam datang Sima, seorang perawan
kecil, anak angkatnya,mengjak ia makan sebab sajian telah selesai. (APDP : 50)
Telah beberapa lama ia tidak berdaya lagi
turun kebawah, sehari-hari ia tidur terlentang di tempat tidur dan jika
sekali-kali hendak duduk haruslah ia dibantu oleh Sima. (APDP : 107)
Sima
anak gadis yang penuh kasih-sayang kepada perempuan, tempat ia berhutang budi
itu, tergesa-gesa turun kebawah, seolah-olah sesungguhnya kakak angkatnya itu
pulang kembali. (APDP : 108)
·
Latar
1. Latar tempat
Latar yang
menunjang dalam novel ini kebanyakan latar fisik. Latar awal sebelum Medasing
dibawa oleh salah seorang penyamun ke hutan temoat para penyamun itu adalah
sebuah Dusun kecil jauh disebelah selatan tanah Pasemahan.
Bukti :
Ia
berasal dari sebuah dusun yang kecil, jauh sebelah selatan tanah Pasemahan.
Dahulu dusun itu ternama kekayaanya dan suatu ketika ia diserang oleh sekawan
penyamun gagah perkasa. (APDP : 3)
Selain itu juga ada latar Dusun Pagar
Alam, lembah Sungai Lematang, Dusun Endikat, Palembang, Gunung Dempo, dan
Negeri Bandar.
Bukti :
Tiap-tiap malam kalau setiap rumah telah tertutup dan
dusun Pagar Alam yang kecil itu telah sunyi senyap, barulah ia masuk kedalam
untuk merebahkan diri. (APDP : 49)
Tangan Tusin yang patah dilempar anak pada pertempuran
di lembah Sungai Lematang lebih dari dua bulan yang lalu telah sembuh dan
sekarang ia telah dapat hidup seperti biasa bersama-sama dengan teman lainnya. (APDP
: 58)
Maka bermaksudlah mereka pergi menuntut ilmu yang
gaib-gaib. Di Dusun Endikat mereka bersua dengan seorang tua yang termashur karena
sihirnya. Di sana mereka belajar beberapa bulan dan ketika masaklah perguruan
mereka, maka orang tua itu memberi nasehat pergi bertarak ke gunung Dempo. (APDP
: 7)
Ketika itu Medasing dengan bapak
angkatnya pergi mengembara dari sebuah dusun kedusun yang lain. Sekalian dalam
perjalanan mereka yang tak tentu arah itu mereka tiba di Palembang disanalah
orang berdua tinggal beberapa lamanya.
(APDP : 5)
Orang berdua beranak itu pun pergi
kesana. Berhari-hari mereka berjalan, kadang-kadang bermalam di dusun,
kadang-kadang di hutan belantara yang sunyi senyap. Mendaki gunung Dempo,
gunung hantu-iblis pun beberapa banyak memakan waktu. Hutan dan padang, tebing
dan ngarai mereka lalui tetapi tidak sekecap juapun mereka berputus asa. (APDP
: 7)
Dari
gunung yang bertuah itumereka pergi kenegeri Bandar; dari situ mereka bertemu
dengan teman-temannya yang berlima. (APDP : 7)
2. Latar waktu
Anak
Perawan di Sarang Penyamun adalah novel karya S.Takdir Alisjahbana yang di buat
pada tahun 1940
Ø Pagi
Bukti
:
Langit di sebelah timur bertambah
terang. Cahaya ungu suram bertambah lama bertambah kuning rupanya dan
kesudahannya timbul dibalk awan emas yang bersusun matahari, mula-mula
sepotong, sebelah dan kesudahannya bulat sebagai bulan digambar-gambaran,
berseri-seri laksana orang tersenyum memandang ke dunia. (APDP : 29)
Ø
Senja
Bukti :
Matahari
baru terpuruk di sebelah barat dan gelap baru terentang, sehingga belumlah
rapat benar; di sana-sini masih kelihatan bekas cahaya siang menyerupai
kekabur-kaburan. (APDP : 76)
Ø
Tengah hari
Bukti :
Telah lewat
tengah hari ketika Medasing tiba kembali di pondok. Sayu duduk di muka pintu di
atas tangga, sehingga dari jauh tampak kepadanya laki-laki itu datang. (APDP :
94)
Ø
Malam
Bukti :
Semalam-malaman
itu Medasing hampir tak memicingkan matanya sekejap juapun oleh karena banyak
yang mendesak pikiran hatinya. (APDP : 103)
3. Latar suasana
Dalam novel ini
latar suasananya beragam yaitu ada Suasana Gelap, Mencekam, Sunyi, Mengharukan, Kebahagiaan,
dan Kemalangan.
Bukti :
Di hutan
yang lebat itu bertambah lama bertambah gelap. Sekalian bayang-bayang menjadi
satu, mula-mula kekabur kaburan dan kesudahannya hitam-legam.
Dalam malam
gelap gulita tampaklah sekalian pohon sebagai suatu pergumulan raksasayang maha
hebat. Masing-masing menolak hendak merobohkan yang lain, mencekau ke kiri dan
kekanan seperti hendak mencekik dan membunuh. (APDP : 14)
Demikianlah
perkelahian antara penyamun dengan orang yang disamun, ketika sekonyong-konyong
turun hujan yang lebat sebagai dicurahkan dari langit. Kilat serang-menyerang
membelah gelap-hulita, sehingga beberapa kali terang-cuaca seluruh hutan,
seluruh medan perjuangan di tepi jalan itu: Halilintar menderu-deru, dahsyat
dan ngeri, seakan-akan hendak memusnahkan bumi, menghancur-remukkan sekalian
manusia yang hidup dan tiada tahu akan harga hidupnya itu. (APDP : 21-22)
Sunyi
bertambah sunyi dalam pondok tempat penyamun itu; mereka yang dahulu berlima
sekarang hanya tinggal berdua lagi. (APDP : 87)
Tetapi
sebelum ia menutup matanya untuk selama-lamanya ia telah mengecap kenikmatan
pertemuan dengan biji matanya, yang dinantikan dan dihasratkannya dengan
seluruh jiwanya, sehingga merusakkan dirinya, rohani dan jasmani. (APDP : 112)
Maka
pada tengah malam yang sunyi senyap itu, laki-laki yang kuat dan besar itu
meniarap mencium kedua anaknya berganti-ganti dan sebelum ia merebahkan dirinya
akan memincingkan mata, ia menegadah keatas, menoda sejurus, mengucapkan syukur
atas tuntutan Ilahi yang berkah dan rahim atas hidupnya. (APDP : 124)
Samad
menceritakan kemelaratan dan kesengsaraannya dalam pengembaraan sejak
perceraian pada malam perampokan yang sial itu.Malang datang menimpa malang,
segala yang dipegangnya tak menjadi dan sekalian usahanya tiada berhasil. Jauh
perjalanannya dan banyak negeri yang telah dikunjunginya,tetapi di mana-mana
sial yang ditemuinya. (APSP : 125)
B.
Sarana
Cerita
1.
Judul
Anak Perawan Disarang Penyamun
2.
Sudut
pandang
Novel ini bersudut pandang orang
ketiga diaan terbatas, yaitu terlihat jelas ketita pengarang menggambarkan
sebuah rimba, menggambarkan fisik tokoh dan menggambarkan pertempuran serta
perampokan yang dilakukan oleh para penyamun itu.
Bukti :
Di
tengah rimba yang lebat itu mengalir sebuah anak air, jernih dan deras di
antara batu yang besar-besar. Sebelah hilir, sungai kecil itu melintas tebing
dan disana ia jatuh berderai-derai sebagai pecahan kaca, sambil menyerakan
bunyi yang gemuruh. (APDP : 1)
Di
dalam pondok itu tidur terlintang lima orang laki-laki, sekalianya kukuh-besar,
lebih dari manusia biasa. Kelima-limanya tiada berbaju, hanya memakai escaping
kain samping hingga pinggang dari badan mereka mengalir peluh amat banyak.
(APDP : 1)
Kelima
penyamun itu turun dari pondok mereka masing-masing membawa senjata. Lembing
ditangan dan parang dipinggang. Lain dari pada itu medasing membawa pestol
tuanya. (APDP : 14)
Penyamun
itu mengangkat tanganya mengayun tombak dan sedikit berdesau bunyi benda yang
tajam itu menuju seorang dari anak pedati. Kain berderis-deris dan berdetar
bunyi senjata pembunuh yang itu beradu dengan benda yang keras…Di telinga
sampai terdengar bunyi orang mengeluh, mengaduh karena tombak yang tajam
itu telah mengerjakan pekerjaanya yang
ngeri. (APDP : 21)
Sohan
terlentang ditanah dekat sebuah tiang, berlumur dengan darah yang keluar dari
luka di dadanya, ditikam anak pedati. (APDP : 23)
3.
Gaya Bahasa
·
Unsur
Leksikal
Dalam novel ini pengarang
menggunakan diksi yang berfariasi dan sangat menarik ada yang terkesan Sadis
atau kurang sopan dan ada juga yang membuatnya manjadi terkesan lebih sopan.
Ø
Pengarang
menggunakan kata jahanam untuk mengungkapkan sesuatu yang mengusik ketenaganya.
“kita lihat jahanam mana bermaksud
menganggu kita” (APDP : 3)
“jahanam benar,” kata medasing
dengan geramnya. (APDP : 3)
“sungguh jahanam benar,” kata Shan
seorang dari penyamun yang berbaring disebelah kiri. (APDP : 8)
Ø
Pengrang
menggunakan kata amat untuk mengungkapkn kata sangat.
Maka amat mudahlah manusia yang
buas-buas itu untuk mengambil harta dusun yang kaya itu. (APDP : 3)
Di dalam pondok itu tidur terlintang
lima orang laki-laki, sekalianya kukuh-besar, lebih dari manusia biasa.
Kelima-limanya tiada berbaju, hanya memakai escaping kain samping hingga
pinggang dari badan mereka mengalir peluh amat banyak. (APDP : 1)
Ø
Pengarang
menggunakan kata sekawan untuk mengungkapkan kata segerombolan.
Dahulu dusun itu tenama kekayaanya
dan pada suatu ketika diserah oleh sekawan penyamun gagah-perkasa. (APDP : 3)
·
Unsur
Gramatikal
Dalam novel ini pengarang
menggunakan struktur kalimat yang banyak menggunakan kata ulang didalamnya untuk
lebih menekankan sesuatu yang pengarang gambarkan.
Bukti :
Sekarang
hanya beberapa langkah lagi jaraknya mereka dari tebing diatas jalan. Medasing
menegakan dirinya sambil mengawasi kemuka dan ia pun berdiri sambil tiada
bergerak-gerak. Sebagai pohon diantara pohon-pohon yang lain. (APDP : 17)
Samad tak
pernah beramah-ramahan dengan anaknya. Dalam pemandanganya pun mereka kebetulan
dilahirkan oleh perempuan yang kebetulan menjadi isterinya. (APDP : 47)
Tiap-tiap
hari ia melihat-lihat dan mendengar-dengar menantikan Sayu, seolah-olah ia
belum dapat percaya bahwa anaknya itu sesunguhnya telah hilang. (APDP : 49)
Di dalam
pondok itu tidur terlintang lima orang laki-laki, sekalianya kukuh-besar, lebih
dari manusia biasa. Kelima-limanya tiada berbaju, hanya memakai escaping kain
samping hingga pinggang dari badan mereka mengalir peluh amat banyak. (APDP :
1)
·
Sarana
Retorika
Dalam novel ini pengarang
menggunakan beberapa macam majas diantaranya adalah :
Ø
Personofikasi
Bukti :
Di tengah
rimba yang lebat itu mengalir sebuah anak air, jernih dan deras di antara batu
yang besar-besar. Sebelah hilir, sungai kecil itu melintas tebing dan
disana ia jatuh berderai-derai sebagai pecahan kaca, sambil menyerakan bunyi
yang gemuruh. (APDP : 1)
Sekonyong-konyong
jatuh sepotong ranting keatas atap rumah itu. Ranting itu berguling-guling
dan jatuh ketanah. (APDP : 2)
Ø
Hiperbola
Bukti :
Tetapi
pada saat itu juga tiba pukulan yang kedua, lebih tepat, lebih dalam dari yang
mula, yang rupanya terlansung dalam kegopohan. Lembing yang tajam yang tak tahu
iba-kasihan itu masuk di rusuk, terus mendalam dan sekonyong-konyong ia ditarik
diikuti oleh darah yang laksana disemburkan. (APDP : 12)
Ø
Metafora
Bukti :
Dua tahun
yang telah berlalu dua suami-isteri yang sangt dikasihi oleh rakyatnya itu naik
haji anak beranak menyampaikan suruhan agama. Dua tahun lamanya tanah
Pasemahan seakan-akan sarang ungas yang tertinggal dan dua tahun
pula lamanya rakyat Pasemahan dengan hasrat menantikan pesirah mereka kembali.
(APDP : 115)
C.
Tema dan
Amanat
·
Tema
Novel ini bertemakan Pertaubatan
atau keinsafan yaitu perubahan tingkah laku atau sikap dari buruk menjadi baik
dan bersahaja.
·
Amanat
Novel ini memiliki beberapa amanat
yang ingin disampaikan kepada pembacanya. Diantaranya adalah :
Ø
Kita tidak
boleh mengambil hak milik orang lain apa lagi dengan pemaksaan.
Ø
Kita
diajarkan untuk dapat lebih menghargai orang lain.
Ø
Hendaklah
bertaubat selagi masih ada kesempatan.
2. Unsur
Ekstrinsik
A. Biografi
Sutan Takdir Alisyahbana
Sutan Takdir Alisyahbana adalah
motor dan pejuang gerakan pujangga Baru. Dia dilahirkan di Natal, Tapanuli
Selatan, puda tanggal 11 Pebruari 1908. Buku roman pertamanya adalah Tak putus
Dirundung Malang yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, tempat dia bekerja. Mula-mula
Sutan Takdir Alisyahbana bersekolah di HD Bangkahulu, kemudian melanjutkan ke
Kweekschool di Muara Enim, dan HBS di Bandung. Setelah itu, ia melanjutkan ke
perguruan tinggi, yaitu RHS ( Recht HogeSchool) di Jakarta. Pada tahun 1942
Sutan Takdir Alisyahbana mendapat gelar Meester in de rechten (Sarjana Hukum). Selain
itu, Takdir mengikuti tentang ilmu bahasa umum, kebudayaan Asia, dan filsafat.
Peranan Sutan Takdir Alisyahbana dalam bidang sastra, budaya, dan bahasa sangat
besar. Ia telah menulis beberapa judul buku yang berhubungan dengan ketiga
bidang tersebut. Kiprahnya di dunia sastra dimulai dengan tulisannya Tak Putus
Dirundung Malang (1929). Disusul dengan karyanya yang lain, yaitu Diam Tak
Kunjung padam (1932), Layar Terkembang 1936, Anak Perawan di Sarang Penyamun
(1941l), Grotta Azzura (1970), Tebaran Mega, Kalah dan Menang (1978), Puisi
Lama (1941), dan puisi Baru (1946). Karyanya yang lain yang bukan berupa karya
sastra ialah Tata bahasa Bahasa Indonesia (1936), Pembimbing ke Filsafat
(1946), Dari perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia (1957), dan Revolusi
Masyarikat "dan Kebudayaan di indonesia (1966). Salah satu karyanya yang
mendapat sorotan masyarakat dan para peminat sastra yaitu Layar Terkembang.
Novel ini telah mengalami cetak ulang beberapa kali. Selain itu, Layar
Terkembang merupakan cerminan cita-citanya. Dalam novel ini Takdir merenuangkan
gagasannya dalam memajukan masyarakat, terutama gagasan memajukan peranan kaum
wanita. cita-cita Takdir digambarkannya melalui tokoh Tuti sebagai wanita
Indonesia yang berpikiran maju yang aktif dalam pergerakan wanita. Layar
Terkembang merupakan puncak karya sastra Pujangga Baru.
B. Sosial
Budaya
·
Nilai Sosial
dan Budaya
Nilai Sosial dan Budaya yang
terkandung dalam novel ini sangatlah banyak diantaranya adalah ketika sekawan
penyamun mendatangi pondok Haji Sahak dan meraka merampok serata membunuh dan
membawa Sayu anak perawan Haji Sahak yang ikut saat mereka menjual puluhan
kerbaunya dan juga kerbau milik tetangganya ke Palembang.
Bukti :
Medasing
tiba diatas pondok, diiringkan oleh temanya berdua; ketika ia masuk, Haji Sahak
terkejut mendengar bunyi orang orang melangkah ditangga yang berbuai-buai dan
dilantai bambu yang berderak-derak. Segera ia melompat terduduk, dan pada saat
itu juga tiba ditangan kirinya mata tombak yang tajam berderis menembus
bajunya, menguoasi daging sampai
ketulang. Ia pun teriak karena terperanjat, tak tahu apa yang terjadi
atas dirinya. Tangan kirinya yang luka itu meraba kebawah bantal mengambil
keris, tetapi saat itu juga tangan yang kena tombak itu pedih, tiada dapat
digerakan. Bertambah kuat ia berteriak sambil mencapaikan tangan kananya ke tempat
senjata itu. Tetapi pada saat itu juga tiba pukulan yang kedua, lebih tepat,
lebih dalam dari yang mula, yang rupanya terlansung dalam kegopohan. Lembing
yang tajam yang tak tahu iba-kasihan itu masuk di rusuk, terus mendalam dan
sekonyong-konyong ia ditarik diikuti oleh darah yang laksana disemburkan.
Laki-laki yang telah duduk itu terguling kembali, tiada berdaya. Suaranya
teriak membelah telinga, diiringi oleh seru dan pekik dua orang perempuan minta
pertolongan. (APDP : 12)
Selain itu juga ketika Isteri Bedul
ingin mengajak Nyi Hajjah Andun untuk tinggal bersama-sama dengannya, namun ia
mengurungkan niatnya karena merasa tak pantas bila ia mengajak Nyi Hajjah Andun yang tergolong orang berada
itu untuk tinggal bersama-sama dengannya yang serba kekurangan dan juga hidup
atas belas kasihan dari keluarga Nyi Hajjah Andun dan suaminya sebelum mereka
ditimpa musibah seperti sekarang ini.
Bukti :
Isteri
Bedul diam pula sejurus. Hampir ia menjawab mengajak iparnya itu tinggal bersama-sama
dengan dia, tetapi segera timbul pikirnya yang mengatakan, bahwa tak patut ia
mengucap yang demikian. Masaknya Nyi Haji Andun yang terhitung orang berada itu
akan mungkin hidup pada mereka. Bukankah mereka suami isteri senanyiasa
bergantung kepadanya, hidup atas kasihanya dengan suaminya? Mungkinkah ia
sekatang akan bergantung pada mereka? (APDP : 57)
·
Nilai
Religius
Nilai Religius yang terkandung dalam
novel ini sangatlah banyak diantarnya adalah ketika Nyi Hajjah Andun sedang
tertidur namun ia terbangun saat waktu subuh karena ia telah terbiasa bangun
waktu subuh dan ia pun sembahyang dan berdoa sampai siang karena ia tidak dapat
tertidur lagi namun doanya hanya dibibir saja tak meresap kedalam kalbunya.
Bukti :
Demikianlah
berulang-ulang sampai badanya menjadi letih tak dapat berfikir dan mengharap
lagi; maka tertidurlah ia tiada kabarkan diri sampai waktu subuh. Oleh sebab
telah terbiasa sejak dari mudanya, terbangunlah ia akan sembahyang, meki
bagaimana sekalipun lesu badannya. Dan sejak sembahyang subuh itu ia tak dapat
memincingkan matanya lagi sampai hari siang. Doa yang dibaca-bacanya untuk
menanti pagi biasanya hanyalah dibibir, tak meresap kedalam kalbunya. (APDP :
49-50)
Selain itu juga ketika Sayu dan Medasing
naik Haji
Bukti :
Dua
tahun yang telah berlalu dua suami-isteri yang sangt dikasihi oleh rakyatnya
itu naik haji anak beranak menyampaikan suruhan agama. Dua tahun lamanya tanah
Pasemahan seakan-akan sarang ungas yang tertinggal dan dua tahun pula lamanya
rakyat Pasemahan dengan hasrat menantikan pesirah mereka kembali. (APDP : 115)
·
Nilai Moral
Nilai Moral yang terkandung dalam
novel ini sangatlah baik dan menarik yaitu ketika Medasing sebagai kepala
penyamun dan teman-temanya itu tak pernah sekalipun menyentuh dan mengusik Sayu
yaitu perempuan satu-satunya yang ada di sekeliling mereka.
Bukti :
Sesungguhnya
ada sesuatu pada perawan itu yang menyebabkan ia terpelihara dari marabahaya.
Ketika ia tertidur di pepangkal kayu dahulu telah terbukti, bahwa ada
kelebihannya atas Medasing, sehingga sesaat raja penyamun itu tertegun
melihatnya, tak tentu apa yang hendak diperbuatnya. Demikian juga lah dengan
sanip dan tusin. (APDP : 60)
·
Nilai Kependidikan
Nilai Kependidikan yang terkandung
dalam novel ini yaitu ketika Medasing dengan Sayu telah pulang dari mekah dan
mereka berdua mengajarkan Agama kepada anaknya.
Bukti :
Dua tahun
yang telah berlalu dua suami-isteri yang sangt dikasihi oleh rakyatnya itu naik
haji anak beranak menyampaikan suruhan agama. Dua tahun lamanya tanah Pasemahan
seakan-akan sarang ungas yang tertinggal dan dua tahun pula lamanya rakyat
Pasemahan dengan hasrat menantikan pesirah mereka kembali. (APDP : 115)
·
Nilai
Kepahlawanan
Dalam novel ini menandung nilai
kepahlawanan yang cukup menarik yaitu ketika Sayu tetap merawat penyamun yang
sedang sakit itu walaupun dia telah membunuh ayahnya sendiri.
Bukti :
Tetapi
akhirnya insaflah ia, bahwa ia harus berusaha selekas-lekasnya menolong
laki-laki itu. Sebagai kilat turunlah ia kebawah. Dalam sekejap ia telah
berdiri disamping laki-laki yang terlentang itu, tak tahu apa yang akan
dikerjakannya . tetapi seakan-akan saat itu masuk kehatinya suatu ilham, dengan
cepat dicobanya mengangkat badan yang tiada bergerak-gerak dan licin oleh
keringat itu. Tetapi bagaimana sekalipun ia berusaha, perbuatanya itu tak
berhasil, sebab tenaganya tak cukup mengangkat badan yang jauh lebih besar dan
berat dari badannya sendiri. (APDP:95)
APRESIASI
UNSUR PRAGMATIK
1.
Unsur Moral
Novel ini bertujuan unuk mencontohkan hal yang baik
yaitu tidak seperti Medasing yang semena-mena terhadap sesama dengan seenaknya
sendiri ia membunuh manusia yang tak ada salah apapun kepadanya, nyawa tak ada
harganya sedikitpun baginya. Namun penulis mengemas maksudnya dengan cara yang
berbeda yaitu memperlihatkan hal yang buruk dan sebaiiknya tidak dilakukan
dengan harapan agar pembaca mengetahui makna tersiratnya atau melakukan
kebalikan dari tokoh Medasing saat sedang menjadi penyamun.
Selain itu juga novel ini mencontohkan agar kita tidak
berkhianat terhadap teman sendiri, tidak mempunyai niat jahat kepada teman
sendiri, dan tidak hanya mementingkan diri sendiri saja. Dalam hal itu penulis
menggambarkanya dalam sosok Samad yang mempunyai sifal licik dan rela
menorbankan temanya demi kepentinganya sendiri.
2.
Unsur
Keagamaan
Novel ini bertujuan untuk mencontohkan nilai-nilai
agama agar kita tetap berpegang teguh terhadap agama dalam kondisi yang
bagaimanapun juga, yaitu dengan mencontoh sosok Nyi Hajjah Andun ketika ia
sedang di landa musibah karena semua harta kekayaanya di rampok oleh Medasing
namun ia selalu bersabar dan tak pernah lupa menjalankan sholat serta memohon
kepada Alloh. Selain itu penulus juga mencontohkan agar kita bertaubat dan
tidak mengulangi hal-hal yang negatif serta merugikan orang lain lagi seperti
Medasing setelah ia menjadi penyamun kemudian ia bertaubat dan melaksanakan
ibadah Haji.
3.
Unsur
kependidkan
Novel ini berniat mendidik kita agar menjadi orang
yang lebih baik lagi serta menjadi orang yang dapat menghargai orang lain dan
menjadi orang senantiasa besyukur kepada Tuhan agar mendapatkan ketenangan dan
kebahagiaan hidup, karena damai itu indah.